Sejarah monas atau monumen nasional ternyata tidak diketahui oleh semua orang, bahkan
tidak dapat kita temukan di dalam buku pelajaran secara lengkap.
Padahal monumen nasional atau monas merupakan sebuah sejarah yang
seharusnya rakyat Jakarta bahkan Indonesia mengetahui sejarah monumen
ini. Jika anda tidak mengetahui monumen nasional ini memiliki tinggi 132
meter dengan emas yang berada di puncaknya.
Sejarah monas ini dimulai setelah pusat pemerintahan
Republik Indonesia kembali ke Jakarta pada tahun 1950 setelah adanya
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1949. Lalu Presiden Soekarno mulai memikirkan pembangunan sebuah
monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di
depan Istana Merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan
sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Sekitar
51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh
Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh komite.
Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tetapi tetap tak satupun yang
memenuhi kriteria. Lalu ketua juri kemudian meminta Silaban untuk
menunjukkan rancangannya kepada Soekarno.
Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu,
akan tetapi rancangan yang diajukan oleh Silaban biayanya sangat besar
dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara Silaban menolak
merancang bangunan yang lebih kecil, kemudian Soekarno meminta arsitek
R.M. Soedarsono melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka
17, angka 8 dan angka 45, untuk melambangkan 17 Agustus 1945 di dalam
rancangan monumen itu. Pembangunan monas yang di arsiteki Friedrich
Silaban dan R. M. Soedarsono dibangaun pada 17 Agustus 1961.
Pembangunan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, dimulai secara
resmi oleh Presiden Soekarno yang secara seremonial menancapkan pasak
beton pertama. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada Maret 1962.
Dan dinding museum di dasar bangunan selesai pada bulan Oktober.
Pembangunan obelisk akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963.
Lalu pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968
karena adanya Gerakan 30 September 1965, tahap ini sempat tertunda.
Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969 sampai 1976 dengan menambahkan
diorama pada museum sejarah. Meski pembangunan telah selesai, masalah
masih terjadi, yaitu kebocoran air yang menggenangi museum. Sejarah monas dimulai sejak Monumen secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.
Sunday, October 6, 2013
Sunday, September 29, 2013
Wonderfull Indonesia🇮🇩
1) Raja Ampat
2) Nusa Dua (Bali)
3) Gili Trawangan (Nusa Tenggara Barat)
4) Nusa Lembongan (Nusa Tenggara Barat)
5) Lombok (Nusa Tenggara Barat)
do you want to go there ??? lets gooooo!!
Friday, September 27, 2013
Chairil Anwar's Poems
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Subscribe to:
Posts (Atom)